Wednesday, February 8, 2017

Belum Tuntas

"Kelak ketika kamu tak lagi bisa menemuiku, yakinlah selalu bahwa ada aku yang akan selalu bisa mengawasimu dari kejauhan" ~ Anonim

Lama tidak menyapamu dalam doa, lama tidak mencari tahu keberadaan mu lewat sosial media. Sebab, terakhir kabar yang ku tahu kamu telah menemukan dia yang selama ini kamu cari. Ijab telah kamu ucapkan, bagi seorang perempuan yang hanya bisa menghabiskan diam dan menikmati sunyi seorang diri semua usai.
Begitu saja, tak ada yang istimewa. Hujan tetap turun sesuka hatinya, sedang rindu tetap berada pada satu titik, tidak beranjak, tidak pula berusaha melarikan diri, lantaran ia juga tahu tempat yang diinginkan sang pemilik rindu tidak lagi sama. Sang pemilik rindu tidak berhak lagi mengirimkan rindunya pada dia yang tidak lagi berhak, sang pemilik rindu tidak sepantasnya menanyakan kabar dia yang telah menemukan bahagianya, sang pemilik rindu pun tidak seharusnya memikirkan dia yang mungkin saat ini sedang duduk bersama belahan jiwa nya.

Aku, anggaplah perempuan sunyi itu. Hari-hariku tak lagi sama ketika kita masih dengan leluasa saling berkabar. Kamu memberikan banyak waktu untuk mendengar atau membaca setiap ceritaku, sedang aku memberikan banyak waktu untuk hanya sekedar mendengarkan keluh kesahmu. Kamu, menanyakan hal-hal sederhana padaku, semisal baju apa yang cocok dengan warna celanamu. Sedang aku, memintamu untuk melakukan hal-hal sulit yang tidak kamu sukai, sesulit kamu yang tak pernah mau membacakan puisi untukku.

Pada deras hujan, dan gelapnya langit semesta akhirnya berkabar. Bahwa mencintai, mengagumi, menyukai, kamu yang kemudian pergi bersama orang yang aku kenali, ini skenario Tuhan yang menyedihkan. Sebab, ia yang kamu pilih adalah ia yang pernah menjadi bagian dari skenario perihal kedekatan kamu dan aku. Marah? Tidak, karena kemarahan adalah ketidakmampuan ku membuktikan keihklasan. Aku baik-baik saja, cukuplah itu yang kamu ketahui.

Aku hanya perlu berdamai dengan waktu, aku hanya perlu memahami skenario Tuhan, sebab aku tahu di belahan bumi yang entah, akan ada dia yang mendoakan serta menyebut namaku seperti caraku mendoakan mu dahulu.

Teruntuk Dua vokal yang diapit tiga konsonan, baik-baik lah di sana. 

#PosCintaTribu7e Hari Ke 2
  

Perempuan Yang Kamu Perjuangkan

"Perpisahan, selapang apapun kita menerimanya tetap saja menyisakan kehampaan"

Allah mempertemukan setiap makhluknya dengan cara yang indah. Lama, kata itu mewakili pertemuan tak sengaja kita hari itu, diminggu yang begitu cerah diwaktu yang tak pernah diduga, di tempat dan kota yang tak pernah kita sangka akhirnya kita dipertemukan. Bahagia rasanya, dipertemukan dengan seorang teman yang perjumpaan dengannya adalah salah satu diantara sekian banyak perjumpaan yang paling aku harapkan. 

"Sudah sejauh mana kamu memperjuangkannya?" tanyaku frontal seperti biasa. Seingatku, dipertemuan terakhir kita sekitar dua tahun yang lalu kamu pernah bercerita, tentang seorang perempuan yang kamu perjuangkan, tentang seorang perempuan yang kamu yakini saat itu akan menjadi ibu dari anak-anakmu kelak. Jika waktu harus kembali pada masa dua tahun lalu, dan jika perhitunganku tepat, bukankah saat pertemuan tak terduga kita ini harusnya kau sudah melamarnya? 

Hening, kau menghela nafas yang cukup panjang. Perasaanku dirasuki ketidaknyamanan, salahkah tanyaku? atau kamu yang sudah kehilangan selera humor hingga menganggap pertanyaan dariku terlampau serius?

"Kami berpisah". Dua kata yang berhasil kau ucap memecah keheningan diantara kita. Aku diam dan masih mendengarkan, lebih tepatnya menunggu kalimat-kalimat lain yang akan kau ucap.

"Lebih tepatnya aku meninggalkan dia, ketidaksiapanku menghancurkan segala angan yang sudah kami bangun dek. Ketidaksiapanku membuatku harus memilih untuk meninggalkannya. Memintanya untuk tetap tinggal agaknya adalah keegoisan yang tidak mencerminkan aku sebagai seorang lelaki", katamu.

Aku terdiam, membiarkanmu menikmati pikiranmu. Sesekali aku mencuri lirik hanya untuk sekedar memastikan kau baik-baik saja. 

"Aku menjanjikan banyak hal padanya, menjanjikan harapan-harapan yang bahkan belum kucapai hingga batas waktu perjanjian kami usai," kamu melanjutkan.
Aku masih menunggu. Lama, sepertinya kamu enggan melanjutkannya.
"Jadi, hanya sampai disitu kamu memperjuangkannya?", tanyaku.

"Aku masih memperjuangkannya, sampai hari ini aku bahkan masih memperjuangkannya. Aku memang tak lagi menyebut namanya seorang dalam sujudku, sebab yang aku perjuangkan bukan hanya dia seorang. Aku meminta yang terbaik untuk dia dan keluarganya. Aku meminta jika diperkenankan Allah aku ingin berjodoh dengannya, tetapi jika tidak aku harap dia bahagia dengan siapapun yang akan mendampinginya kelak", ceritamu.

"Dek. Perpisahan, selapang apapun kita menerimanya tetap saja menyisakan kehampaan. Maka berhentilah menangisi perpisahan. Jika kelak, kamu dipertemukan dengan orang yang membuatmu nyaman maka ingatlah bahwa dia adalah keluarga yang kamu pilih sendiri".

Kamu menutup pertemuan kita seperti biasa, memberiku nasehat seolah kamu akan pergi jauh,  dan seolah harus menunggu dua tahun kemudian untuk kita kembali dipertemukan.

Teruntuk, dua vokal yang diapit satu konsonan

NB : Kisah dalam tulisan ini, telah mendapat persetujuan dari yang bersangkutan :)

#PosCintaTribu7e Hari-1