Friday, January 10, 2014

Kenangan

Aku tak pernah suka bercakap denganmu, hingga waktu memaksa kita untuk berjalan ke arah yang berbeda, alasannya sederhana karena aku terlalu malu bertatap wajah denganmu. Kamu mungkin tak pernah tahu kebiasaanku, hingga kamu pergi bersama angin tanpa meninggalkan jejak yang bisa aku kenang. Tetapi, kamu adalah bagian dari kisah yang tidak akan pernah terlupakan. Kepergian yang menyesakkan itu hanya meninggalkan sebuah ucapan "Rindu" yang tidak pernah kamu dengar, kepergian itu jugalah yang membuat kakiku tak sanggup untuk menopang tubuhku ketika aku melihatmu dari kejauhan. Sungguh, kepergianmu membuatku hanya bisa menikmati kerinduan melalui sebuah gambar.

Kamu adalah bagian kecil dari cerita hidupku yang panjang. Ingatkah kamu, ketika kamu pernah berucap bahwa kamu sangat menyukai hujan, tetapi kamu menggunakan payung untuk berjalan di bawahnya. Atau ketika kamu juga pernah berucap, bahwa kamu sangat menyukai matahari. Akan tetapi, kamu menghindar ketika sinarnya menerpamu. Dan kamu juga sangat sering berucap, bahwa kamu menyukai angin.Tetapi, kamu menutup semua pintu dan jendela rumahmu ketika angin berhembus. Alasan inilah yang menyebabkan aku selalu ragu, ketika kamu menyatakan bahwa kamu menyukaiku. Pendirianmu yang selalu berubah adalah jawaban dari setiap keraguan yang aku miliki.

Kamu menciptakan banyak kenangan dalam kisahku, entah itu bahagia, sedih atau meyakitkan sekalipun. Tetapi aku tetap menyukai setiap potongan-potongan kenangan itu dalam bentuk apapun. Kepergian yang tidak pernah kamu sesali (aku harap begitu). Kenangan yang menciptakan aku dan kamu yang belum sempat menjadi kita, kenangan yang menghadirkan aku dan kamu baru sebatas koma, dan kenangan yang membuat aku dan kamu berjalan ke persimpangan yang berbeda.

                          "Untuk Pemilik Rindu yang Sebenarnya"

Wednesday, January 8, 2014

Jarak

Harapan adalah jawaban ketika jarak adalah sebuah pertanyaan. Aku berbincang dengan embun, saat fajar malu-malu menampakkan wajah. Perbincangan hangat yang lebih banyak di dominasi oleh hening, ia seolah-olah bertanya tentang pengembaraanku denganmu, tentang perjalanan waktuku yang panjang hingga aku akhirnya kembali ke tempatku.

Aku bercerita tentangmu, tentang keoptimisanmu, tentang cintamu hingga tentang harapan yang tidak pernah kamu realisasikan menjadi sebuah kepastian. Pengembaraan kita (dulu) kini hanya menjadi sebuah cerita yang tidak lagi punya arti, dulu aku ragu bisa mengembara bersamamu, tetapi kamu meyakinkanku dengan caramu yang sangat hebat dan menakjubkan. Aku terpukau, hingga akhirnya memilih berjalan di sisimu. Saat badai mulai mendekati kita, aku tahu bahwa kamu adalah orang pertama yang mudah goyah dan jatuh. Jujur sejak saat itu, aku tak lagi kuat mengembara bersamamu. Tetapi Tuhan selalu meyakinkanku dengan caraNYA, bahwa aku harus selalu mendampingimu. Jika dengan aku saja kamu begitu mudahnya di jatuhkan, maka tak ada jaminan dengan orang yang bukan aku kamu akan bertahan.

Fajar akhirnya pergi, dan tepat saat itu matahari dengan tampak malu-malu mulai menampakkan wajahnya, embun kembali lenyap dan tak terlihat lagi dari pandanganku, pada saat yang sama aku kembali bernostalgia dengan masa laluku. Saat aku mulai merangkai kepastian denganmu, kamu justru memilih jalan yang berbeda denganku. Kamu berhasil mematahkan kepercayaanku, menghancurkan kepastian yang susah payah aku bangun. Seharusnya aku tahu sejak awal kamu adalah pemberi harapan, bukan kepastian, kekecewaan itu begitu memuncak menghancurkan segala angan, pedih rasanya ketika pengembaraan itu harus berlanjut tetapi dengan arah yang berbeda.

Kini, pengembaraan kita adalah sebuah jarak, kamu mengembara dengan harapan yang lain, sedang aku masih tetap menunggu dengan kepastian yang sama. Aku tak lagi menganggapmu sebagai masa lalu yang harus aku ingat, tetapi satu hal pasti yang seharusnya kamu tahu, bahwa kamu adalah jarak yang tidak bisa lagi aku harapkan.

"Pemilik yang seharusnya tidak aku harapkan"