Tuesday, June 23, 2015

Ibu

Ibu
Dari mana kau belajar ikhlas menghadapi anak-anakmu?
Ibu
Bagaimana kau bisa selalu percaya pada anak-anakmu. Meskipun kau sendiri menyadari terlalu banyak mulut disekelilingmu yang meragukan mereka?
Ibu
Bagaimana kau yakinkan dirimu, untuk selalu ikhlas menerima apapun keputusan anakmu?
Ibu
Mengapa kau bisa dengan mudah sembunyikan dukamu?
Ibu
Mengapa senyummu begitu sangat tulus?
Ibu
Jikalau aku kau izinkan untuk melakukan apa saja demi kebahagianmu, apa yang kau inginkan ibu?
Ibu
Jawab aku, jika pertanyaanku sudah kau temukan jawabnya.

Monday, May 25, 2015

IKHLAS??? (Mencoba Berdamai)

Maaf...
Sepenggal kata itulah yang tersisa dan mampu aku ucap dari bibirku saat ini. 
Maaf...
Untuk segala bisu yang aku hadirkan ditengah pertemuan yang tidak kita sangka.
Maaf...
Atas kecanggungan yang tercipta ditengah rinai hujan.
Sekali lagi maaf...

Lihat dirimu,
Dulu, kamu adalah DIA dalam masaku. Tetapi, sejak kamu menegaskannya untuk tidak lagi saling bertatap maka kita berakhir. Dulu, kamu adalah DIA yang aku yakini. Tetapi, sejak egomu menguasai maka tak ada lagi kesempatan. Dulu, kamu adalah DIA yang aku tunggu. Tetapi, ketika kamu memutuskan pergi maka aku tahu, bahwa sudah waktunya aku mencari DIA yang juga mencariku.

Tidak akan membandingkan, sekalipun kita telah berakhir kamu adalah salah seorang diantara sekian banyak manusia di muka bumi ini yang punya cerita denganku. Tidak akan membenci, sebab aku tak bisa memaksamu untuk tetap tinggal. Tidak akan mendiamkan, sebab kita adalah dua manusia yang bisa saling memahami, sekalipun tidak lagi berjalan berdampingan. Maka cukuplah kita berdamai, saling belajar untuk mengikhlaskan. Karena sejatinya hidup adalah belajar tentang keikhlasan.

Dari Aku,
Yang sedang mencari DIA yang juga mencariku



Saturday, May 16, 2015

Terima Kasih

Ikhlas?
Hmmmm, aku masih berjuang untuk mengiklaskannya lebih tepatnya. Tetapi ungkapan tanpa sengaja itu, kuartikan sebagai perintah untuk benar-benar dan harus ikhlas atas segala perasaan yang kujalani selama ini. Hari ini benar-benar telah selesai, dan kamu yang menegaskannya. Aku paham.

Kamu,
Terima kasih telah menemukan wanitamu terlebih dahulu.
Terima kasih telah menunjukkannya padaku.
Terima kasih untuk perkenalan tanpa sengaja ini.
Terima kasih untuk waktu panjangmu selama ini.

Dan teruntuk hati yang telah memperjuangkan selama ini, terima kasih untuk penantian panjang yang melelahkan.
Terima kasih untuk waktu yang tidak percuma untuk menunggu sebuah jawaban.
Terima kasih telah menemani.
Cukuplah bahagia sebagai balasannya.

Tertanda,
Gadis dandelion



Monday, April 27, 2015

Menerima

"Menunggumu yang pergi saja sudah menyita banyak waktu, maka menunggu yang dipilihkan Tuhan mungkin takkan lagi sesulit dan semelelahkan saat aku menunggu kamu"

Selamat pagi sayang,
maaf jika jarak suratku teramat dekat dari surat yang terakhir kali aku tulis dan kamu baca. Aku hanya memiliki waktu yang cukup luang untuk menuliskannya saja, tak ada maksud apa-apa hanya saja semakin sering aku menuliskanmu surat maka semakin aku bisa berdamai denganmu.

Sayang,
aku mengaku kalah. Mengaku kalah dari perasaan rindu yang tak bisa aku sampaikan dengan leluasa padamu. Mengaku kalah dari kepura-puraan yang aku bangun untuk menutupi canggungku. Mengaku kalah dari perasaan merelakan yang tak bisa aku relakan. Yahhh, aku mengaku kalah.

Kekalahanku membuatku berpura-pura untuk merasa kuat, berpura-pura tegar, dan berpura-pura bahagia. Terkadang aku mempertanyakan segalanya, sampai kapan aku harus bersembunyi dibalik bahagia yang bias? Sampai kapan aku harus menyimpan rasa sesak yang siap meledak kapanpun ia mau? dan sampai kapan aku harus berkawan dengan sepi?

Maka, biarkan aku menarik napas sebentar. Biarkan aku menikmati sepiku ditengah keramaian. Biarkan aku secara perlahan mengumpulkan semangatku, kemudian biarkan aku tetap hidup. Layaknya terbit yang membawa harapan baru, dan terbenam yang menyisakan rindu pada akhirnya harus aku akui, satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menghadapinya.
Menerima bahwa kamu dan aku tidak lagi berjalan berdampingan, menerima bahwa kamu dan aku hanyalah harapan yang tidak lagi nyata, dan menerima bahwa kamu adalah bagian dari banyaknya orang yang pernah punya cerita denganku.
Dengan menerima, harapku aku bisa segera melupakan. Meski aku tahu melewatinya tak pernah menjadi mudah, bahkan mungkin terlalu sulit untukku.

Sayang,
selamat berjuang untuk menerima, layaknya aku yang sedang mengusahakannya.

Dari aku,
Ladang Dandelionnmu

Sunday, April 26, 2015

Tidak Harus Membenci

Assalamualaikum,
Lama tidak mendengar kabar darimu, lama tidak melihat kamu dalam keadaan "maya", dan lama tidak bersapa. Apa kabar kamu? 

Bahagiakah kamu? Sudahkah kamu menemukan tempat untuk berteduh? Sudahkah kamu menemukan ladang dandelion yang lebih luas, dari ladang dandelion yang terakhir kali aku ceritakan? Aku harap sudah.

Cukuplah kita dengan "masa lalu" yang tidak lagi ingin kita ingat. Cukuplah kita dengan kenangan yang entah ingin atau tidak kita kenang.

Baiklah,
awalnya aku enggan menuliskan lagi surat kesekian ini untukmu. 
Mengapa?
Sebab, menuliskannya berarti mengingat kembali kenangan yang sedang aku usahakan untuk melupakannya. Sebab, menuliskannya berarti membuka kembali luka yang telah perlahan sembuh. Kamu, lagi-lagi berhasil meruntuhkan pertahananku. Kamu, menghampiriku ketika hatimu sedang terluka dan ketika kamu memerlukan jiwa untuk kedamaian. Sungguh, seharusnya aku membencimu.

Tetapi sayang, aku tak bisa membencimu. Bukan perkara membenci hingga membuatnya begitu mudah, tapi bagiku membencimu akan semakin membuatku terluka, dan aku tak ingin menyakiti diriku sendiri.

Tidak denganmu memang tak pernah menjadi mudah, terlebih saat kamu memintaku menjadi kamu, mengimbangimu atau bahkan lebih. Semakin tidak menjadi mudah, ketika aku harus berkali-kali jatuh dan harus aku sadari, bahwa tak ada lagi kamu yang akan berjalan disampingku. Pada akhirnya, aku harus menyadari bahwa semuanya adalah harapan yang pernah kita ciptakan. Yang kemudian hari menjadi kenangan yang tidak ingin kita kenang.

Sampai hari ini, ketika hati masih dengan mudah dibolak-balikkan, dan dengan mudah dipatahkan, atau bahkan ketika perjalanan yang masih begitu sangat panjang aku lalui aku ingin berucap, terima kasih.
Terima kasih atas luka yang kamu tinggalkan.
Terima kasih atas kenangan, yang entah pantas atau tidak untuk dikenang. Dan terima kasih untuk segala cerita yang bagaimanapun juga harus aku akui, bahwa aku pernah tersenyum karenanya.

Pada akhirnya, duniaku tidak lagi sesederhana saat kamu mengenalku dulu. Secangkir cokelat hangat tidak lagi senikmat saat kamu duduk dihadapanku. Tetapi mengertilah, berusaha berdamai dengan mu dan tidak membenci mu adalah nikmat yang sedang aku usahakan.
Kamu, sampai bertemu diwaktu yang masih di rahasiakan Allah.
Aku harap, saat kita bertemu kamu telah dipertemukan dengan perempuanmu dan aku dengan lelaki yang telah dipilihkan Allah SWT :)

Tertanda,
Yang kamu tinggalkan



Tuesday, February 24, 2015

Kepada Ri

Haiii ri, apa kabar kamu?
Masihkah sibuk dengan kuliahmu?
Atau dengan dunia relawanmu?
Ataukah dengan gunung, sungai, pantai, senja serta fajar yang sering kau ceritakan lewat gambar-gambarmu yang sengaja aku lihat lewat akun instagrammu?
Ahhhh ataukah kamu masih sibuk dengan sang kleopatra?
Lama tidak mendengar kabar darimu ri, aku harap kamu tetap dalam penjagaan NYA.

Ri, langitku agaknya belakangan ini sedang demam, akibat seringnya hujan datang menyapa. Bagaimana dengan langitmu? Masihkah ada senja kamu jumpai dimusim yang mulai enggan untuk bersahabat? Ataukah kamu lebih memilih menjumpai fajar?
Maaf ri, jika pertanyaan-pertanyaan ku sedikit mengganggumu. Aku hanya ingin mengetahui kabarmu, aku hanya ingin kecanggungan ini tak lagi memberi jarak diantara kita, aku hanya ingin. Sekalipun aku sendiri tau, bahwa kecanggungan ini aku yang menciptakan. Sekali lagi aku minta maaf, karena aku tidak bermaksud melakukannya.

Ri, diwaktu yang kita sepakati aku harap kamu akan menepatinya. Aku hanya ingin mengingatkanmu, tentang janji kita diwaktu itu, tentang hujan yang menjadi saksi perbincangan hangat yang sekaligus menciptakan kecanggungan diantara kita. Jika kamu melupakannnya, maka aku dengan senang hati mengingatkanmu.

"Ri, jika kamu jodohku. Maka izinkan aku tertawa dan kemudian kamu bisa memelukku.
Ri, jika masa laluku adalah jodohku. Maka peluk aku, aku rasa pundakmu akan sangat nyaman untuk bersandar. Menangisinya kemudian mengiklaskan bahwa ia yang dipilihkan Tuhan.
Ri, jika masa depan adalah jodohku. Maka doakan aku,  karena aku membutuhkan ikhlasmu untuk melepaskan"

Diwaktu malam yang semakin pekat, diwaktu kamu tak lagi bisa menahan lelah. Beristirahatlah Ri, jangan mimpikan aku. Cukuplah kamu bersyukur kepada NYA atas satu tarikan nafas yang masih diberikan NYA.

Dari Aku,
Di kota yang berbeda

Friday, February 20, 2015

Perempuan Penggenap Hujan

Aku sedang duduk dengan kesibukan ku mengerjakan skripsi akhir-akhir ini, aku sedang duduk di tengah ruangan luas yang tentu saja hening, dan aku sedang duduk diantara beberapa staf yang sedang sibuk menggosipkan artis-artis yang belakangan banyak muncul di tv, sedang dibeberapa sudut lain ruangan, pandanganku disuguhkan pada beberapa gadis yang sibuk ber-selfie ataupun hanya sekedar merapikan alis mereka. Ya, belakangan perpustakaan adalah tempat yang kupaksakan menjadi menyenangkan, serta tempat yang kupaksakan menjadi favorit untuk hanya sekedar mengisi hari-hari.

Di luar sedang hujan, saat kenyamananku berada diruangan hening ini tiba-tiba dikagetkan dengan suara handphoneku sendiri. Sms dari mu yang mengatakan bahwa kamu sedang terluka, membuatku sedikit khawatir. Ini bukan kali pertama, kedua ataupun ketiga kamu mengatakan bahwa kamu sedang terluka, ini adalah pesan yang hampir seumpama alarm yang mengingatkan bahwa kamu (lagi) terluka. Kali ini, entah harus kujawab apa pesan darimu, sebab berkali-kali pula aku harus kalah argumen denganmu. Bagimu, memberikan kabar padaku seperti hal wajib, tetapi maafkan aku jika kabar darimu seringkali membuatku terganggu. Terganggu karena aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan padamu.

Di luar sedang hujan, dan kali ini angin menyertainya. Aku belum juga membalas sms dari mu. Tidak, bukan karena aku mengacuhkanmu, aku hanya sedang memikirkan kalimat yang tepat untuk membalasnya. Kuharap orang-orang disekililingku tidak mendengar helaan nafasku, sebab membalas smsmu adalah hal yang kurasa lebih sulit dari sekedar menyelesaikan skripsiku. Pada akhirnya kamu seharusnya jauh lebih tau. Sejujurnya, selama ini aku tidak pernah berusaha mati-matian untuk melupakan seseorang. Kamu tau kenapa? Sebab, sesudah hujan akan ada pelangi, dan tentu saja sesudah malam akan ada siang. Seperti itulah yang akan terjadi nantinya, meskipun untukmu, proses ini telah memakan waktu yang sangat-sangat lama.

Angin masih saja menyertai hujan, kali ini ia menyerupai badai. Membuat aku enggan bangkit dari tempat nyamanku. Kamu tau, kamu sungguh sangat menyerupai angin. Angin yang enggan berjalan sendiri, angin yang lebih memilih mengikuti arah hujan ke selatan maupun utara, angin yang membutuhkan hujan untuk menyamarkan luka. Aku tau, tak mudah menjadi kamu. Kamu dengan keras kepalanya dirimu, kamu dengan kesetiaanmu yang berlebihan dan kamu dengan maafmu. Untuk kali ini bisakah kamu mendengarkanku? Bisakah kamu berhenti menjadikan dirimu sebagai luka? Bisakah kamu berhenti berlari dibawa rinai hujan, untuk hanya sekedar menyamarkan lukamu? dan Bisakah kamu berdiri dengan tegak untuk menantang hujan? Ku harap kamu bisa.

Aku memang tidak akan pernah bisa mengerti tentang perasaanmu, sebab aku tak pernah merasakan luka sepertimu. Kita tau, bahwa kamu dan aku sama, tetapi juga berbeda disaat yang sama. Kamu keras kepala dengan ketidak inginanmu untuk melupakan dia, yang menjadikan dirimu terluka. Sedangkan, aku keras kepala dengan ketidak inginanku disakiti oleh orang-orang disekelilingku. Oleh sebab itu ku mohon sembuhkan lukamu, sudah saatnya kau menemukan kebahagiaanmu dari seseorang yang akan mencintaimu apa adanya, seseorang yang hanya melihat kearahmu, seseorang yang akan memayungkanmu ketika berjalan dibawah rinai hujan, seseorang yang akan mengimamimu ketika bersimpuh dihadapan Tuhanmu, seseorang yang akan memelukmu untuk menenangkanmu, dan tentu saja seseorang yang mau menjadi apa saja, selama itu bersama dengan dirimu.

Besok, ataupun lusa ketika kamu mengirimkan sebuah pesan, kuharap kamu tidak lagi mengatakan bahwa kamu sedang terluka. Ku harap aku mendapatkan kabar baik darimu, sebab kebahagiaanmu adalah harapku. Sebab, aku tidak ingin menjadikanmu sebagai angin, tetapi aku akan memintamu menggenapi hujan.

Dari aku sahabatmu,
di kota yang berbeda





Friday, February 13, 2015

Penggenap

Assalamualaikum
Haiii titik, 
Perkenalkan aku koma penggenapmu.
Apa kabar kamu? Ehhhh maaf telah lancang menanyakan kabarmu. Yahhh begitulah aku, perempuan super aktif yang tidak bisa diam, perempuan mandiri yang kelewatan mandirinya. Perempuan agois dan tentu saja perempuan keras kepala.

Entah harus kujabarkan dari mana untuk mendeskripsikanmu, yang ku tau kamu adalah titik yang tak pernah lupa terhadap Tuhanmu, yang ku tau kamu adalah titik yang selalu suka melipat lengan bajumu dan yang ku tau kamu adalah garpu yang selalu saja tepat menikam jantungku. 

Aku tak lagi akan bertanya siapa kamu? Sebab, rasa-rasanya aku sudah sangat mengenalmu. Aku hanya ingin tertawa, ya izinkan aku tertawa untuk beberapa detik kedepan, ahhh tidak aku minta beberapa menit atau mungkin beberapa jam, setelah itu kamu bisa memelukku.

Maafkan aku, jika selama ini keberadaanmu tidak aku ketahui. Tentu saja, bagaimana mungkin aku bisa menebakmu jika perhatianmu kamu sampaikan dari balik tembok, dan bagaimana bisa aku menyadarinya jika wajah tenangmu yang selalu kamu tampakkan. Ahhhh sungguh, sekali lagi maafkan aku.

Terima kasih telah menyadarkanku.
Kamu titik (pria).
Kamu tidak cukup untuk berucap sayang, kamu tidak cukup untuk berucap cinta dan menjaganya dengan sepenuh jiwa.
Perilaku dan tindakanmu sudah cukup meyakinkan , bahwa kamu tepat untuk di pilih. 

Tertanda,
Koma

Wednesday, February 11, 2015

Tidak Menemukan Sebuah Akhir

 "Hujan, ada rindu yang mengalir. Ada kenang yang tergenang"

Tidak dalam secarik kertas ku tuliskan namamu, tidak dalam sebait puisi aku menyebutmu. Tetapi, dalam setiap perbincangan-perbincangan ku dengan Tuhanlah aku sisipkan namamu. Entah sejak kapan aku mulai bersahabat dengan malam, entah sejak kapan pula menuliskanmu menjadi sebuah rutinitas panjang yang sangat menyenangkan buatku. Menceritakanmu adalah caraku mengingatmu, menceritakanmu adalah caraku berbicara denganmu, sekalipun sangat menyakitkan ketika bukan fisik ataupun bayangan kau datang menemuiku, tetapi khayalkulah wujudmu terasa ada.

10 februari 2015, tepat pukul 02:00 WIB aku menuliskan surat kesekian ini untukmu, surat kesekian yang entah akan kamu baca ataupun tidak, surat kesekian yang disisipi perasaan rindu, dan cemas. Dan surat kesekian yang tak akan pernah aku kirim. Penantianku ternyata memunculkan banyak spekulasi diseselilingku, betapa sangat menggelikannya komentar-komentar mereka yang mau atau pun tidak pada akhirnya membuatku bertanya kembali.
 
Siapa kamu? Sahabatku? Teman? Bukan. Ayah dari anak-anakku? Ohhh tentu saja bukan. Kamu adalah seseorang yang sekian tahun lalu datang, sekian tahun lalu memperkenalkan dirimu sebagai seseorang yang pada akhirnya ku panggil kakak dalam kehidupanku, mengubah badai menjadi pelangi dalam satu waktu tetapi tidak memberi akhir dikemudian hari. Yahhh begitulah kamu, sampai surat kesekian ini aku tuliskan tetap saja begitu.

Tertanda
Yang menantimu